Unduh: Siaran Pers
Sengketa tanah atau konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan baik BUMN maupun swasta masih merupakan permasalahan fenomenal yang menuntut penyelesaian. Pemberian izin pemanfaatan lahan oleh pemerintah kepada perusahaan, sering berbenturan dengan masyarakat yang juga merasa berhak atas lahan yang sama.
Proses penyelesaian sengketa lahan selama bertahun-tahun dinilai dilakukan secara tidak berkeadilan dan tidak transparan sehingga masyarakat selalu berada pada posisi yang dirugikan, bahkan ada yang dilakukan melalui cara-cara yang melanggar Hak Asasi Manuisa (HAM).
Upaya advokasi dan kampanye yang dilakukan oleh CSO menuntut cara-cara penyelesaian sengketa lahan dengan cara intimidasi, kekerasan, kriminalisasi dan cara-cara yang tidak berkeadilan agar diakhiri, telah direspon oleh sebagian besar perusahaan khususnya sektor industri pulp dan perkebunan sawit dengan mengumumkan kebijakan berkelanjutan (sustainability policy).
EcoNusantara semenjak tahun 2016 bersama para pihak termasuk privat sektor, NGO dan masyarakat terus berupaya mengembangkan metode atau platform penyelesaian sengketa lahan atau konflik agraria yang memenuhi prinsip berkeadilan, penghargaan, tanpa paksaan, dan keterbukaan.
Salah satu kasus sengketa lahan yang sudah berlangsung bertahun-tahun, dimana penyelesaiannya difasilitasi oleh EcoNusantara semenjak April 2019 adalah sengketa lahan antara PT. Bumi Persada Permai (BPP) supplier Asia Pulp and Paper (APP) dengan kelompok masyarakat Desa Simpang Bayat. Kasus ini telah mendapat perhatian yang luas dikalangan CSO/NGO secara global.
Pada tanggal 6 Desember 2022 para pihak (PT. BPP dan Masyarakat) telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri sengketa lahan, kesepakatan tersebut dituangkan dalam nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh perwakilan masing-masing pihak. Para pihak juga telah mengumumkan kepada publik melalui siaran pers (klik di sini) tercapainya kesepakatan tersebut. (*)