Siak Hijau, Kolaborasi Multipihak Memecah Kebuntuan Penanganan Kebakaran Hutan

SIAK – Selama enam tahun terakhir, setidaknya 164 ribu hektar hutan dan lahan (karhutla) di Riau terbakar dan melepaskan emisi karbon hingga 136 juta ton CO2e. Indikasi luasan kebakaran itu berdasarkan data Kementerian LHK adalah penjumlahan tiap tahun dengan kemungkinan kejadian berulang di tempat yang sama. Sementara Kabupaten Siak, satu-satunya kabupaten di Riau yang memiliki peraturan daerah tentang kabupaten hijau mengklaim berhasil menekan luasan kebakaran.

Satu di antara kabupaten di Riau yang menyumbang luasan kebakaran hutan dan lahan adalah Siak. Enam tahun terakhir dari sumber data yang sama diolah dari SiPongi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), tercatat seluas 4.715 hektar hutan dan lahan di Siak terbakar. Namun kalau ditarik sejak 2015 hingga 2023, setiap tahun Siak terbakar dan berkontribusi pada paparan kabut asap beracun terhadap penduduknya. Kebakaran paling luas terjadi pada tahun 2016 yakni mencapai 13.214 hektar.

Siak bisa disebut sebagai kabupaten yang rentan terjadinya kebakaran, sebab 57,44% dari wilayah administratif adalah lahan bergambut. Apalagi karakteristik lahan gambut yang kaya karbon, dan tinggi biodiversitas ini telah dibebani berbagai kegiatan manusia baik dari ekonomi warga hingga industri.

Meski demikian, dalam dua tahun terakhir, luas kebakaran hutan dan lahan di Siak bisa ditekan hingga “hanya” 18 hektar dan 37 hektar pada 2023. Penurunan angka karhutla ini, disebut “hasil kemajuan” dari inisiatif kebijakan kabupaten hijau yang bernama Siak Hijau yang didukung para pihak.

“Yang paling kita rasakan itu adalah tingkat karhutla menurun,” kata Leonardus Budhi Yuwono, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak kepada TangkasiID, awal Maret di ruang kerjanya.

Siak, pada tahun 2014 dan 2015 mengalami kebakaran hutan hebat. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) menyebut akumulasi kebakaran hutan dan lahan di Riau termasuk dari kabupaten Siak pada 2014 telah menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 15 triliun rupiah. Sedangkan pada tahun 2015 Kamar Dagang Industri Riau menyebut kerugian ekonomi Riau mencapai 20 triliun rupiah dan lebih dari setengah juta orang menderita penyakit saluran pernafasan akut atau ISPA.

Situasi inilah yang mendorong pemerintah Siak untuk terlibat lebih serius dalam inisiatif pencegahan dan penanganannya. Bahkan lebih jauh, ketika Siak ditunjuk sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada tahun 2016, Bupati Siak mendeklarasikan Siak sebagai kabupaten hijau.

“(Kebakaran hutan) Itu dahsyat sekali tahun 2014, lalu 2015 sudah ada penanganan. Alam ini harus kita perbaiki dengan kondisi yang ada seperti ini. Akhirnya 2016 Siak menjadi tuan rumah hari lingkungan hidup sedunia,” ujar Budhi kepada TangkasiID di ruang kerjanya pada awal Maret lalu.

Siak adalah satu-satunya pemerintahan kabupaten di Provinsi Riau yang menerapkan kebijakan “hijau” dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 4/2022 tentang Siak Hijau. Sebelum itu, konsepsi Siak Kabupaten Hijau sudah dituangkan dalam Peraturan Bupati Nomor 22 tahun 2018.

Kebijakan ini muncul untuk menjawab dampak dari pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi atas lingkungan. Sehingga, kebijakan Siak Hijau harus mampu menjembatani masalah ekonomi dan keberlangsungan ekologi sekaligus.

“Ide awal daripada Siak Hijau itu adalah, kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya dan lingkungan yang terjaga. Jadi lingkungan terjaga, alamnya terjaga, masyarakatnya sejahtera,” ujar Budhi.

Dalam Perda Siak Hijau itu, pemerintah menetapkan lima zonasi tata ruang termasuk dalam konteks pemanfaatan sumberdaya alam. Zonasi tersebut ialah zona konservasi, tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan, industri pertambangan, dan permukiman yang termasuk wilayah adat.

Dalam implementasinya, setiap dinas menyesuaikan programnya dengan merujuk pada pencapaian kabupaten hijau yang sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Budhi mencontohkan, Dinas Pertanian memiliki kewajiban untuk memastikan perkebunan kelapa sawit yang berada di lahan gambut, tetap mempertahankan lahannya basah. Selain itu, sosialisasi terkait replanting kebun kelapa sawit harus agar tidak terjadi penambahan luasan perkebunannya.

“Kelapa sawit yang sudah terlanjur ditanam di areal gambut, Dinas Pertanian harus menjaga bagaimanya gambutnya, tetap basah,” ujarnya.

Dalam konteks lahan gambut, Perda Siak Hijau mendorong pemanfaatan dan pengelolaan lahan gambut lestari. Dua kebijakan yang progresif adalah melarang pemanfaatan lahan gambut yang belum dibebani izin. Sedangkan pada lahan gambut yang telah dibebani izin namun belum dimanfaatkan, Perda Siak Hijau mengarahkan areanya tetap mempertahankan kondisinya sebagai kawasan hutan.

Komitmen Siak Hijau tidak terlepas dari dukungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan hidup di Riau. LSM yang bermitra dengan Pemerintah Siak ini berhimpun dalam “Sedagho Siak” yang berarti Saudara Siak. Ada 22 LSM di antaranya berbasis di lokal seperti Perkumpulan Elang, Jikalahari dan internasional termasuk Greenpeace Indonesia.

“Awalnya karena ada bencana (kebakaran hutan dan lahan) terus kita didampingi oleh beberapa organisasi. Yang juga banyak membantu mendampingi itu Sedagho Siak,” lanjut Budhi.

Kolaborasi antara Pemkab dan LSM ini, menghasilkan kajian strategis terkait kondisi dan peta jalan perbaikan lingkungan hidup di Siak. Kolaborasi tersebut, diwujudkan dalam bentuk program bersama. Salah satu LSM yang bermitra dengan Pemkab Siak adalah Perkumpulan Elang. Program yang didorong ialah sawit berkelanjutan.

Besta, Manajer Kampanye dan Publikasi Perkumpulan Elang menjelaskan, hubungan antara Perkumpulan Elang dan Pemkab Siak telah berlangsung lama. Berawal dari kelompok kritis, hingga kini dapat berkolaborasi mendorong kebijakan lingkungan hidup. Program kolaborasi yang dicontohkan ialah TAKE (Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi).

Program ini akan memberikan insentif kepada pemerintah desa yang berhasil menjaga lingkungan hidup. Program ini, diharapkan mampu memberikan dorongan kepada pemerintahan desa untuk melaksanakan pembangunan berorientasi lingkungan hidup.

“Dalam konteks kebijakan, dia (Siak Hijau) sudah lebih kuat. Paling tidak kebijakan di tingkat OPD (Organisasi Perangkat Daerah) ini bisa kita dorong ada nilai-nilai keberlanjutan,” ucapnya.

Selain bekerjasama dengan LSM, Pemkab Siak juga bermitra dengan sejumlah korporasi yang beraktivitas di Siak. Perusahaan-perusahaan yang mendukung kebijakan Siak Hijau, termasuk Wilmar Internasional, Riau Andalan Pulp and Paper, Grup Sinar Mas dan Kimia Tirta Utama (KTU) grup Astra Agro Lestari (AAL) tergabung dalam Koalisi Private Sector untuk Siak Hijau (KPSSH). KPSSH yang juga diinisiasi oleh lembaga konsultan lingkungan EcoNusantara mendeklarasikan dukungan mereka terhadap Siak Hijau pada Agustus 2019, atau setahun sejak komitmen Kabupaten Hijau ini diterbitkan dalam peraturan bupati.

Khairul Basyar, Ketua Harian KPSSH memandang bahwa inisiatif Siak Hijau sangat baik. Sebenarnya tidak ada kewajiban bagi private sector untuk terlibat dalam inisiatif Siak Hijau. Namun sudah seharusnya perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis di Siak ikut mendukung inisiatif Siak Hijau. Sebab selama ini, program-program yang dilakukan oleh perusahaan pun sudah menunjukkan kepedulian pada lingkungan.

“Konsep Siak Hijau cukup bagus apalagi (pemerintah) nasional mempunyai komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Artinya Siak hijau inilah yang lebih cepat melakukan itu. Apa yang akan dilakukan oleh private sector diharapkan bisa linked (terhubung) dengan capaian Siak Hijau,” ucapnya kepada TangkasiID di Pekanbaru baru-baru ini.

Head Sustainability WIlmar Indonesia, Pujuh Kurniawan mengatakan meski Wilmar tidak memiliki kebun sawit sendiri di Kabupaten Siak, namun inisiatif Siak Hijau ini selaras dengan komitmen perusahaannya. Sejak 2013, Wilmar mengumumkan kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi (NDPE) kepada publik. Kebijakan yang diperbaharui pada 2019 ini berlaku di seluruh rantai pasok bisnis Wilmar. Inilah yang mendorong perusahaannya untuk memastikan rantai pasok sawit yang diperdagangkannya menaati persyaratan komitmen NDPE.

“Kita memandangnya tidak sepotong-potong. Kalau bisnis di Wilmar itu ada mulai dari hulu, hilir, refinery. Kami juga punya PKS (yang dioperasikan/dimiliki langsung oleh Wilmar) dan independent palm mill 10 unit. 10 inilah yang menerima pasokan dari petani swadaya. Itu yang kita pikirkan,” kata Pujuh di Pekanbaru awal Maret lalu.

Dalam konteks Siak Hijau, salah satu komitmen Wilmar adalah memaksimalkan dampak ekonomi terhadap masyarakat dalam hal ini di Kabupaten Siak. Sebab menurut dia, data Dinas Pertanian Siak menyebut total luas kebun sawit di Siak lebih dari 328 ribu hektar. Sekitar 30 persen dari luas itu yakni 120 ribu hektar yang dikelola perusahaan. Sementara sisanya 208 ribuan hektar adalah kelapa sawit rakyat atau petani swadaya.

Dari jumlah kebun sawit mandiri itu baru 14 persen yang bersertifikat ISPO. Sedangkan pemerintah Siak telah menargetkan seluruh perkebunan sawit di Siak harus sudah bersertifikat ISPO pada tahun 2025. Target sertifikasi ini tertuang dalam Peraturan Bupati Siak Nomor 106/2023 tentang Rencana Aksi Daerah Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan tahun 2023-2024.

“Di situlah kami punya itu (program) petani swadaya. Itulah kita berinisiatif untuk kita berikan atensi karena mereka tidak mendapat sentuhan,” kata Pujuh.

Besta dari Perkumpulan Elang mewanti-wanti program CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan yang berbalut berkelanjutan dan disematkan sebagai dukungan atas program Siak Hijau. Menurut dia, program CSR perusahaan tidak dapat diklaim sebagai inisiatif Siak Hijau. Sebab CSR sudah ada aturan kewajiban bagi perusahaan.

“CSR itu, ada dan tidak ada (inisiatif) Siak Hijau, pasti dikeluarkan. Dengan adanya (inisiatif) Siak Hijau, jangan CSR-nya yang diklaim sebagai (program) Siak Hijau,” ucapnya.

Arpiyan Sagita dari Jaringan penyelamat hutan Riau atau Jikalahari juga menyatakan bahwa program yang dibuat oleh perusahaan kepada masyarakat mungkin bisa saja diklaim sebagai dukungan terhadap inisiatif Siak Hijau. Namun yang paling penting baginya adalah komitmen korporasi memastikan areal konsesinya tidak lagi terbakar.

“Apakah dengan dia (perusahaan) memberikan bantuan kepada koperasi, tetapi mereka tetap melakukan pembakaran, bisa dianggap (mendukung Siak Hijau)?” kata Arpiyan.

Terkait dengan komitmen perusahaan di Siak untuk Kabupaten Hijau, Kepala Bappeda Siak Budhi menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan harus menjaga konsesi mereka dari ancaman kebakaran hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan.

“Komitmen mereka, bagaimana mereka menjaga lahan mereka tidak terjadi kebakaran. Mereka juga harus berkomitmen bagaimana meningkatkan masyarakat di sekitar untuk sama-sama sejahtera dengan mereka,” kata Budhi. (*

Sumber: https://tangkasi.id/siak-hijau-kolaborasi-multipihak-memecah-kebuntuan-penanganan-kebakaran-hutan/

Berita
EcoNusantara berbagi pengetahuan dan informasi tentang dinamika pembangunan berkelanjutan dan isu tanggung jawab lingkungan dan sosial yang lebih luas. Informasi sebagian besar diambil dari berbagai media dan sumber informasi.​
Berita Terkini