Apa itu perubahan iklim?
Sederhananya perubahan iklim merujuk pada perubahan permanen pada pola cuaca dan temperatur dunia yang terjadi secara gradual dan berkala. Perubahan demikian dapat disebabkan oleh faktor alami, seperti erupsi gunung berapi dan aktivitas manusia. Industrialisasi pada awal abad 19 merupakan titik awal terjadinya perubahan iklim, yang utamanya bersumber dari penggunaan energi fosil sepeti minyak, gas dan batu bara.
Perubahan iklim dipicu oleh peningkatan gas rumah kaca, terutama konsentrasi karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) pada atmosfer bumi. Kedua gas ini menyerap panas dan memicu pemanasan global yang menimbulkan dampak, seperti: peningkatan suhu bumi; ketidakpastian iklim dan cuaca; mencairnya es di kutub yang mendorong peningkatan tinggi muka air laut; meningkatnya kejadian cuaca ekstrim (kekeringan, banjir, dan angin puting beliung), hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan kondisi tempat tinggal manusia. Untuk menangani dampak yang mengerikan ini, selama 4 dekade lebih masyarakat global sudah memulai mencari cara penanganan terbaik untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap dampak yang ditimbulkan.
Inisiatif dalam penanganan isu ini dimulai pada tahun 1979 yang dikenal sebagai konferensi dunia pertama mengenai iklim atau World Climate Conference (WCC). Kemudian pada 1992, PBB bersama negara-negara dunia membangun sebuah kesepakatan internasional yang bernama the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Inisiatif ini dibentuk sebagai kerangka kerja kolaborasi internasional dalam mengatasi perubahan iklim dengan cara menekan laju kenaikan suhu dunia yang memicu perubahan iklim dan mencari jalan keluar dari dampak perubahan iklim. Selanjutnya pada 1995 COP pertama diselenggarakan di Berlin, hingga tahun ini COP ke 28 akan dilaksanakan pada 30 November hingga 12 Desember 2013 di Dubai (UAE) (UNFCCC, 2023).
Berbagai bentuk program dalam mitigasi dan adaptasi telah banyak dilakukan, yang utamanya pembuatan kebijakan pro lingkungan oleh pemerintah dan penekanan dampak lingkungan dalam kegiatan bisnis. Terdapat 5 sektor yang menjadi fokus sebagai sumber emisi, yang terdiri atas; sektor kehutanan, pertanian, energi, limbah (waste) (Bappenas, 2021), dan sektor industri. Beberapa kebijakan yang dibuat terkait dengan 5 sektor tersebut adalah
- peningkatan proporsi penggunaan energi terbarukan, dengan membatasi penggunaan bahan bakar fosil yang semakin banyak diekstraksi dan digunakan yang akan menyebabkan perubahan iklim semakin parah. Dengan demikian, perubahan sumber energi yang bersih dan terbarukan adalah cara terbaik untuk menghentikan penggunaan energi fosil.
- peningkatan efisiensi energi, yang memiliki peran sentral dalam mengatasi perubahan iklim. Efisiensi energi, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, misalnya: mengurangi berat produk dengan tetap memberikan layanan yang sama (light-weighting); mengurangi kehilangan hasil dalam proses produksi; menemukan penggunaan alternatif untuk barang bekas tanpa peleburan ulang; menggunakan kembali dan mendaur ulang komponen; membuat komponen produk yang lebih tahan lama; dan menggunakan produk secara lebih intensif atau dengan kapasitas yang lebih tinggi
- transformasi menuju transportasi yang berkelanjutan. Transportasi adalah salah satu sektor yang menjadi target intervensi yang efektif untuk mengurangi emisi CO2, sehingga langkah-langkah adaptasi diperlukan untuk mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim. Peningkatan efisiensi bahan bakar di sektor transportasi, terutama melalui: penggunaan bahan bakar nabati yang berkelanjutan, kampanye penggunaan transportasi masal, dan penerapan pajak emisi dari penggunaan kendaran pribadi (UNECE 2023).
- Perlindungan hutan dan restorasi ekosistem untuk menyerap lebih banyak karbon. Menurunkan tekanan terhadap pembukaan lahan terutama lahan untuk konsumsi seperti peratanian dan perkebunan dapat membantu menghindari hilangnya karbon dalam jumlah besar. Hutan adalah obyek alam yang paling penting dalam mengatasi perubahan iklim, dan perlindungan hutan adalah hal kunci dalam isu iklim.
Manfaat AI dalam upaya mitigasi perubahan iklim
Aspek lain yang saat ini mulai menarik perhatian dalam penangan isu iklim yaitu pemanfaatan teknologi AI (Artificial Intelligence) atau Kecerdasan Buatan. AI bukanlah sesuatu yang baru, namun seiring dengan perkembangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan saat ini potensinya menjadi lebih baik dan lebih besar dalam membentuk dunia kita dari sebelumnya. AI merupakan jalan pintas transformatif yang mungkin dapat memecahkan masalah terbesar di dunia, termasuk perubahan iklim.
Teknologi ini dapat menjadi kekuatan pendorong dan mengubah cara kita menangani perubahan iklim. Berikut ini adalah contoh praktik pemanfaatan AI dalam merevolusi perjuangan kita untuk mendorong solusi aksi perubahan iklim;
- Energi Terbarukan: AI membantu mengoptimalkan efisiensi panel surya, turbin angin, dan sistem energi terbarukan lainnya dan memperkecil biayanya. Algoritme pembelajaran mesin dapat memprediksi pola cuaca untuk menyesuaikan produksi energi, sehingga memastikan pasokan daya yang konstan. Selain itu, AI membantu mengembangkan material canggih untuk penyimpanan energi, seperti baterai berkapasitas tinggi, sehingga energi terbarukan menjadi lebih andal.
- Efisiensi Energi: Salah satu kontributor paling signifikan terhadap perubahan iklim adalah konsumsi energi yang berlebihan. Jaringan pintar dan sistem manajemen energi yang digerakkan oleh AI dapat mengoptimalkan distribusi energi, mengurangi limbah, dan mendorong integrasi sumber-sumber terbarukan. Algoritme machine learning dapat memprediksi pola permintaan dan menyesuaikan produksi energi yang sesuai, sehingga meminimalkan ketergantungan pada bahan bakar fosil. (Ipswich A 2023).
- Pengurangan Emisi: AI dapat merevolusi industri dengan mengoptimalkan proses dan mengurangi emisi. Misalnya, dalam bidang manufaktur, pemeliharaan prediktif berbasis AI dapat meminimalkan kerusakan peralatan, mencegah pelepasan polutan. Di bidang pertanian, AI dapat meminimalkan penggunaan pestisida dan pupuk, memonitor kadar kelembaban tanah untuk mengidentifikasi efisiensi pengairan yang tepat, meningkatkan hasil panen sekaligus mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan pertanian dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat pedesaan. (World 101, 2023)
- Pemodelan dan Prediksi Iklim: AI memungkinkan model iklim yang lebih akurat dengan menganalisis kumpulan data yang sangat besar dan memprediksi tren iklim. Informasi ini sangat penting untuk membuat keputusan dan kebijakan yang tepat. Analisis prediktif dapat membantu mengantisipasi peristiwa cuaca ekstrem, sehingga memungkinkan kesiapan dan respons bencana yang lebih baik. Selain itu, AI dapat digunakan sebagai alat penghitung karbon dalam melacak dan melaporkan emisi yang akurat sehingga membantu target kelestarian suatu bisnis.
Pedang bermata dua?
AI memang memiliki potensi yang sangat besar dalam percepatan resolusi perubahan iklim dengan mengoptimalkan program atau mereduksi inefisiensi. Namun disisi lain, ada harga yang harus dibayar berkenaan dengan pemanfaatan teknologi yang revolusioner ini. AI membutuhkan supercomputer dan juga server yang harus dipasok tenaga listrik dengan jumlah yang besar. Sebagai contoh simulasi, aplikasi ChatGPT akan digunakan sebagai prototipe dalam mengkuantifikasi hubungan AI secara umum dengan kebutuhan energi. Terhitung data yang tersedia hingga hari ini, jumlah pengguna ChatGPT berada sekitar 180.5 juta, dengan rata-rata kunjungan perbulan yaitu sebanyak 1,5 miliar kunjungan. Berdasarkan statistik (Duarte, 2023), kunjungan pada ChatGPT meningkat 150% sejak Februari 2023 yang hanya 1 miliar kunjungan. Bahkan penggunaan situs ini meningkat sebanyak 6 kali lipat lebih banyak dari data kunjungan di Desember 2022 yang hanya terdapat 266 juta kunjungan. Dengan demikian tidak mustahil dalam semester awal tahun 2024 jumlahnya akan terus melonjak. Hal ini berkenaan dengan penyediaan elektrifikasi dari aplikasi ini.
Hasil studi pada 2023, seiring semakin populernya ChatGPT, penggunaan AI dapat meningkatkan kebutuhan konsumsi listrik global hingga 85-134 Terawatt-hours (TWh) per tahun pada tahun 2027 [de Vries, 2023]. Dalam studi lain, algoritma pada fase training model dalam AI yang digunakan seperti GPT-3 milik ChatGPT, Gopher, dan Open Pre-trained Transformer (OPT) dapat mengkonsumsi listrik masing-masing sebesar 1.287, 1.066 dan 324 MWh. Sehingga ilmuan menyimpulkan, kebutuhan energi untuk menghidupkan ChatGPT adalah 564 MWh per hari, dengan asumsi pada perkiraan 1.287 MWh yang digunakan pada fase training model (Krishnamurthy, 2023).
Emisi dari penggunaan listrik 1 Mega Watt per Jam (MWh) setara dengan 0,4765 tCO2e. Sementara itu, total penggunaan energi listrik untuk ChatGPT per hari sebesar 564 MWh. Sehingga, total emisi yang dihasilkan dari penggunaan ChatGPT sebesar 268,7 tCO2e/hari (EPA, 2021).
Untuk mereduksi emisi yang terjadi, hutan yang tersusun atas pohon-pohon alami merupakan salah satu sumber untuk menetralisirnya. Berdasarkan riset dari Encon (2023), bahwa setiap satu pohon di hutan alam memiliki kemampuan menyerap CO2 sebesar 21,77 kgCO2 – 31,5 kgCO2. untuk menetralisir emisi yang dihasilkan dari ChatGPT sebesar 268,7 tCO2 dibutuhkan pohon sebanyak 8.331 – 12.362 pohon. Penelitian kehutanan menunjukkan, bahwa Hutan hujan tropis di Indonesia memiliki kerapatan pohon per hektar sebanyak 531 – 638 individu pohon (Wilkie 2004). Sehingga dibutuhkan hutan seluas 16,1 – 22,5 hektar untuk menetralisir emisi dari penggunaan ChatGPT selama 1 hari di seluruh dunia.
Kesimpulan
AI memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam mendorong solusi aksi iklim di seluruh dunia. Dengan kemampuan untuk memantau, menganalisis, dan merespons perubahan lingkungan. Selain itu, AI dapat membantu mengurangi emisi karbon, meningkatkan hasil lingkungan, dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi masyarakat dunia. Maka dari itu, pemerintah, bisnis, dan masyarakat harus memanfaatkan peluang ini dan menggunakan AI sebagai alat untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Bappenas (2021). UPDATED NDC INDONESIA UNTUK MASA DEPAN YANG TANGGUH IKLIM. Available at: http://greengrowth.bappenas.go.id/updated-ndc-indonesia-untuk-masa-depan-yang-tangguh-iklim/ (Accessed: 20 November 2023).
Encon 2023. Calculation of CO2 offsetting. Available at: https://www.encon.eu/en/calculation-co2#:~:text=To%20summarise%20the%20various%20studies,by%2031%20to%2046%20trees (Accessed: 20 November 2023).
de Vries, A. (2023) ‘The growing energy footprint of Artificial Intelligence’, Joule, 7(10), pp. 2191–2194. doi:10.1016/j.joule.2023.09.004.
Duarte, F. (2023) Number of CHATGPT users (Nov 2023), Exploding Topics. Available at: https://explodingtopics.com/blog/chatgpt-users (Accessed: 20 November 2023).
EPA (2021). eGRID. U.S. annual national emission factor, year 2019 data. U.S. Environmental Protection Agency, Washington, DC.
Ipswitch A (2023). AI and Climate Change: Pioneering Technologies for a Sustainable Future. Available at: https://www.tractiontechnology.com/blog/ai-and-climate-change-pioneering-technologies-for-a-sustainable-future (Accessed: 20 November 2023).
Krishnamurthy, R. (2023) Projected increase in AI’s electricity use comparable to annual consumption of Netherlands, Argentina: Report, Down To Earth. Available at: https://www.downtoearth.org.in/news/science-technology/projected-increase-in-ai-s-electricity-use-comparable-to-annual-consumption-of-netherlands-argentina-report-92246 (Accessed: 20 November 2023).
UNECE (2023). Climate Change and Sustainable Transport. Available at: https://unece.org/transport/climate-change-and-sustainable-transport (Accessed: 20 November 2023).
UNFCCC, (2023). History of the Convention. Available at: https://unfccc.int/process/the-convention/history-of-the-convention#Climate-Change-in-context (Accessed: 20 November 2023).
Wilkie P., Argent G, Campbell E, Saridan A (2004). The diversity of 15 ha of lowland mixed dipterocarp forest, Central Kalimantan. Biodiversity & Conservation (13), 00. 695-708. doi: :10.1023/B:BIOC.0000011721.04879.79
World 101 (2023). How Can Artificial Intelligence Combat Climate Change?. Available at: https://world101.cfr.org/global-era-issues/climate-change/how-can-artificial-intelligence-combat-climate-change (Accessed: 20 November 2023).
Penulis: Irwan Budiarto (ENS)