Penguatan Holistik Implementasi Kebijakan NDPE Wilmar

Sejak pertama kali menerbitkan kebijakan No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) pada tahun 2013, Wilmar International telah menghadapi sejumlah tantangan dalam penerapannya. Tantangan yang paling terasa adalah ketika menyampaikan kebijakan ini kepada para supplier. Hal ini dikarenakan cakupan NDPE tidak hanya terbatas pada operasional internal Wilmar, melainkan juga kepada para perusahaan yang masuk dalam rantai pasoknya.

Menyikapi tantangan tersebut, Wilmar terus berupaya untuk mengajak para supplier, untuk ikut terlibat aktif dalam implementasi kebijakan NDPE secara ketat, sehingga produk yang dihasilkan dapat memenuhi tuntutan pasar global.

Untuk memastikan kebijakan NDPE diterapkan oleh para supplier, Wilmar meluncurkan program Supplier Reporting Tool (SRT) sejak tahun 2017. “SRT ini merupakan suatu platform self assessment implementasi NDPE dari para supplier”ujar Surya Purnama, Supplier Compliance Lead, Wilmar International dalam workshop bertajuk “Penguatan Komitmen Wilmar dan Mitra Suppliernya dalam Tata Kelola Ketenagakerjaan melalui Supplier Reporting Tool SRT” akhir Agustus lalu di Jakarta.

Menurut Surya, kebijakan dan penerapan NDPE saat ini telah menjadi salah satu prasyarat yang diminta oleh perusahaan multinasional. “Oleh karena itu, implementasi NDPE di level supplier sangat penting untuk dilakukan, untuk memastikan produk yang dihasilkan merupakan produk yang berkelanjutan atau sustainable product,” terang Surya.

Wilmar, ungkap Surya, senantiasa memperkuat kebijakan NDPE ini. Sejak pertama kali dikeluarkan pada Desember 2013, kebijakan NDPE telah diperbarui pada tahun 2019. “Penguatan kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen Wilmar, untuk  menciptakan sistem yang lebih efektif dalam memastikan keberlanjutan di seluruh rantai pasoknya,” tambahnya.

Komitmen Berkelanjutan?

Pujuh Kurniawan, Indonesia Sustainability Lead, Group Sustainability di Wilmar International, menjelaskan mengapa perusahaan multinasional ini sangat ketat dalam menerapkan komitmen keberlanjutannya. Menurutnya, sebagai perusahaan besar, pihaknya tidak bisa main-main dengan komitmen yang sudah diterapkan.

“Ada komitmen terhadap pembeli, pemasok, bahkan dituangkan dalam kontrak yang menyebutkan bahwa kebijakan NDPE suatu keniscayaan,” kata Pujuh. Menurutnya, hal ini bertujuan untuk melindungi pemasok dan perusahaan itu sendiri, serta menunjukkan implementasi nyata dari komitmen tersebut.

Wilmar berharap, bisa bekerja sama untuk perbaikan. Dia menjelaskan bahwa meskipun sebagian pemasok mungkin tidak tahu atau belum memahami kebijakan NDPE, namun jumlah yang tidak mau tahu sangat sedikit. Lebih banyak yang belum tahu atau tidak memahami sepenuhnya, dan Wilmar tidak bisa melakukannya sendirian. Pujuh mengakui adanya tantangan seperti regulasi yang tumpang tindih, namun ia mengapresiasi perbaikan signifikan yang dilakukan pemerintah dalam lima tahun terakhir.

Pujuh menekankan pentingnya komunikasi yang efektif dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi non pemerintah di tingkat lokal. Gunanya untuk membangun sinergi dan mengatasi masalah secara bersama-sama.

“Daripada sekadar membuat laporan atau kesepakatan yang tidak diikuti tindakan nyata, kami lebih memilih untuk bekerja langsung di lapangan,” ungkapnya.

Wilmar, dalam hal ini, telah memulai kerjasama dengan berbagai stakeholder untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam inisiatif keberlanjutan benar-benar diterapkan dan dapat diukur. Ia menyebutkan bahwa Wilmar tidak hanya fokus pada laporan keberlanjutan, tetapi juga berkomitmen pada pelatihan dan capacity building bagi petani. Misalnya, Wilmar telah mengembangkan aplikasi untuk membantu petani dalam melaporkan aktivitas mereka dan meningkatkan kapasitas mereka dalam hal keberlanjutan.

“Kami tidak hanya bicara harga, tetapi juga manfaat tambahan seperti pelatihan dan geolokasi yang kami lakukan sejak 2014,” ujar Pujuh.

Kolaborasi Inklusif

Pujuh menyoroti pentingnya kolaborasi multi-pihak, termasuk pemerintah dan asosiasi, untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan efektif dalam penerapan kebijakan keberlanjutan. Ia juga menyadari bahwa tidak hanya Wilmar yang diharapkan untuk menerapkan standar tinggi dalam keberlanjutan, tetapi banyak perusahaan lain juga harus berkomitmen.

“Namun, kami menghadapi kenyataan bahwa beberapa perusahaan lain mungkin tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang sama,” kata Pujuh. Menurutnya, meskipun setiap perusahaan memiliki tujuan dan strategi berbeda, penting bagi Wilmar untuk berbagi manfaat dan tanggung jawab dalam bisnis agar lebih berkelanjutan dan terhindar dari risiko.

Selain itu, Pujuh juga menjelaskan bahwa manajemen Wilmar memilih untuk tidak menguasai seluruh rantai pasokan, tetapi lebih memilih untuk membangun sistem berbagi manfaat. Model bisnis ini, kata dia, mempermudah perusahaan dalam menangani tanggung jawab dan mengurangi risiko. Melalui blockchain dan pendekatan multi-pihak, perusahaan ingin memastikan bahwa keberlanjutan bukanlah tanggung jawab yang dipikul sendirian.

Pujuh menekankan perubahan signifikan dalam tuntutan global terkait perubahan iklim. Ia menjelaskan bahwa dulu kesadaran akan isu perubahan iklim mungkin tidak menjadi prioritas bagi banyak pihak. Namun kini, dampak perubahan iklim telah menjadi sangat nyata dan tidak bisa diabaikan lagi, seperti longsor dan banjir.

“Kita harus menyadari bahwa di luar masalah bisnis, ada tanggung jawab moral yang perlu kita komunikasikan dan ditangani dengan serius,” kata Pujuh.

Untuk mencapai hasil yang berkelanjutan, Pujuh menekankan perlunya contoh atau role model yang dapat diikuti. Saat ini, pihaknya memulai dari skala kecil dengan harapan dapat tumbuh dan menjadi role model yang dapat diadopsi oleh pemerintah, petani, dan perusahaan lain. Keberlanjutan tidak hanya berfokus pada pembuatan laporan atau klaim, tetapi pada pembangunan sistem yang benar-benar berfungsi dan memberikan manfaat bagi semua pihak terkait.

Pujuh juga mengakui bahwa tiga tahun lalu, Wilmar menolak 1,5 juta ton sawit yang tidak menerapkan prinsip NDPE. Namun sayangnya, pasokan kelapa sawit tersebut diterima oleh perusahaan pengolah kelapa sawit lainnya. Kondisi itu, tambah dia, butuh kesepahaman antarperusahaan sawit soal sistem keberlanjutan tersebut. Tidak cukup Wilmar saja.

Suspend awal itu sakit, tapi itu risikonya. Ini bagian dari reputasi yang harus kita jalankan, komitmen yang harus kita tekankan sehingga kita tidak ada lagi dituding sama kawan NGO (terlibat deforestasi). Kalau dibilang sempurna, belum, tapi dalam proses, on going,” kata Pujuh.

Dalam konteks asosiasi bisnis, Pujuh menyoroti pentingnya manfaat praktis dan kolaborasi yang saling menguntungkan. Asosiasi bisnis harus dapat memberikan manfaat nyata bagi anggotanya. Sebagai contoh, petani yang bergabung dalam ISPO tidak hanya mendapatkan pelatihan tetapi juga dukungan finansial dan alat berat yang diperlukan.

Pujuh juga menekankan pentingnya kerjasama dalam bentuk lanskap yang melibatkan berbagai pihak. Ia juga menegaskan bahwa keberlanjutan adalah tentang mencapai keseimbanganbagi semua pihak yang terlibat.

“Kami membangun citra, reputasi, dan kredibilitas melalui penerapan keberlanjutan yang benar-benar praktis dan didukung oleh dukungan nyata. Kami ingin menjadi role model dalam menghadapi tantangan ini, dengan melibatkan tidak hanya perusahaan, tetapi juga petani, untuk bekerja sama dalam menciptakan solusi yang efektif,” ujarnya.

Pada November tahun lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menilai industri kelapa sawit yang merupakan bagian integral dari ekonomi global sekaligus berperan penting dalam perekonomian nasional telah berhasil berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja produktif dan kesempatan kerja, ketahanan pangan, ketahanan energi, serta penyediaan barang-barang konsumsi. Hal tersebut turut berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di kalangan petani pedesaan termasuk bagi petani kecil.

Lebih jauh lagi, dengan perkiraan bahwa populasi dunia akan mencapai 9,8 miliar jiwa pada tahun 2050, dunia akan memerlukan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati pada saat tersebut.

“Minyak sawit merupakan cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat. Kelapa sawit juga mendukung penyediaan bahan bakar transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Indonesia telah mengembangkan SAF yang dikenal dengan BioAvtur 2.4% atau J2.4,” ungkap Airlangga.

Untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, Indonesia telah melakukan penanaman kembali seluas 200.000 hektar sejak tahun 2007 dan seluas 180.000 hektar sedang dilakukan penanaman kembali di tahun ini dengan mengalokasikan anggaran sebesar USD386 juta.

Di tingkat global, inisiatif Uni Eropa melalui kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) untuk membatasi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan kehutanan dan pertanian di seluruh dunia, akan memberikan dampak langsung pada komoditas utama Indonesia yakni kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi, dan kayu.

“Terlepas dari kekhawatiran kami, pemerintah siap berkolaborasi dengan Uni Eropa dalam membangun kerangka kerja yang mendorong pertanian berkelanjutan, termasuk produksi minyak nabati, dengan cara yang inklusif, holistik, adil, dan tidak diskriminatif. Sangat penting bagi Uni Eropa untuk mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa standar keberlanjutan nasional negara-negara produsen dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengakses pasar Uni Eropa,” tegas Menko Airlangga. [adv]

 

Sumber: https://tangkasi.id/penguatan-holistik-implementasi-kebijakan-ndpe-wilmar/

Berita
EcoNusantara berbagi pengetahuan dan informasi tentang dinamika pembangunan berkelanjutan dan isu tanggung jawab lingkungan dan sosial yang lebih luas. Informasi sebagian besar diambil dari berbagai media dan sumber informasi.​
Berita Terkini