Publik tentu masih mengingat betul betapa mengerikannya bencana asap 2015 dan 2019. Mengutip kompas.id, korban Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada tahun 2015 mencapai 639.000 jiwa, sedangkan pada tahun 2019 korban ISPA sebanyak 323.000 jiwa. Mengerikannya dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau, membuat banyak pihak berbenah, salah satunya Pemerintah Kabupaten Siak. Siak adalah satu-satunya kabupaten di Riau yang menerapkan kebijakan kabupaten hijau.
Kebijakan yang paling progresif adalah penerbitan Perda Siak Hijau. Dalam Perda Siak Hijau ini, Pemkab Siak mendorong penyelamatan hutan khususnya lahan gambut. Tentu bukan hanya masyarakat saja yang dilibatkan dalam inisiatif ini, korporasi juga menjadi pihak yang dilibatkan.
Korporasi yang mendukung kebijakan Siak Hijau, tergabung dalam Koalisi Private Sector untuk Siak Hijau atau disingkat KPSSH, yang dibentuk pada tahun 2018 lalu. Lembaga konsultan Independen berbasis di Bogor, EcoNusantara turut membidani lahirnya KPSSH ini. Khairul Basyar, Ketua Harian KPSSH menyatakan koalisi ini dibentuk untuk merespon komitmen Pemkab Siak dalam menyelamatkan lingkungan. Apalagi, korporasi yang beroperasi di Siak telah lebih dulu memiliki beragam program penyelamatan lingkungan. Baginya, inisiatif Pemkab Siak menginjeksi semangat bagi private sector agar menerapkan model bisnis ramah lingkungan.
“Siak Hijau cukup bagus. Jadi inisiatif ini mendukung capaian nasional, nasional punya komitmen pengurangan emisi GRK (gas rumah kaca). Siak Hijau inilah yang lebih cepat untuk melakukan itu,” ujarnya kepada TangkasiID pada akhir Februari lalu.
Khairul juga menjelaskan, korporasi yang terlibat dalam KPSSH tidak memiliki motif apapun. Menurutnya, program keberlanjutan hidup yang dijalankan korporasi dalam rangka memenuhi kewajibannya kepada negara. Hadirnya KPSSH juga menjadi jembatan komunikasi perusahaan kepada masyarakat, baik LSM maupun petani swadaya. Sehingga rasa saling tidak percaya antarpemangku kepentingan dapat dihapus. Salah satu perusahaan yang terlibat dalam koalisi ini adalah Wilmar.
Benang Kusut Rantai Pasok
Mengutip databooks.katadata.co.id, luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta hektare pada tahun 2021. Sebanyak 8,42 juta hektare (55,8%) dimiliki oleh perkebunan swasta. Perkebunan rakyat seluas 6,08 juta hektare (40,34%). Sedangkan sisanya dimiliki oleh perkebunan negara sebesar 579,6 ribu hektare (3,84%). Kendati luas perkebunan swasta dan perkebunan rakyat nyaris sama besar, nasibnya tentu berbeda.
Sustainability Head Wilmar, Pujuh Kurniawan menceritakan kepada TangkasiID, alasan Wilmar terlibat dalam inisiatif Siak Hijau. Dia menjelaskan, kunci keberlanjutan lingkungan dari sektor perkebunan kelapa sawit, terletak pada rantai pasok. Rantai pasok kelapa sawit dari sektor perkebunan rakyat, melibatkan banyak pihak mulai dari petani, tengkulak, ram (tempat jual beli kelapa sawit), hingga berakhir di pabrik kelapa sawit. Panjangnya rantai pasok ini, menyebabkan pengawasan terhadap asal muasal dari kelapa sawit yang diterima Wilmar tidak dapat diverifikasi. Apalagi WIlmar tidak memiliki areal perkebunan yang luas. Sehingga Wilmar menerima pasokan dari perkebunan rekanan dan petani swadaya.
Rumitnya rantai pasok, mendorong Wilmar untuk melakukan pembinaan kepada petani swadaya serta pihak-pihak dalam rantai pasok kelapa sawit Wilmar. Apalagi Wilmar telah menerapkan konsep NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation) sebagai nilai perusahaannya. Pujuh menyatakan, Wimar ingin seluruh lini perusahaan mengedepankan keberlanjutan lingkungan.
“Kalau concern kita adalah bagaimana menaikkan produktivitas, menaikkan improve kualitas, kemudian bagaimana juga terkait dengan sustainability,” ujarnya pada awal Maret.
Hadirnya inisiatif Siak Hijau, bagi Pujuh semakin menguatkan komitmen Wilmar. Sebelum adanya kebijakan Siak Hijau, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Siak telah menjalankan beragam program penyelamatan lingkungan. Dengan inisiatif Siak Hijau, Pemda dapat berkoordinasi terkait program dukungan perusahaan terhadap Siak Hijau. Sehingga program- program perusahaan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat Siak.
Kerja-kerja kolaboratif ini, dia sebut, mampu secara efektif menyasar petani swadaya, sasaran binaan Wilmar selama ini. Salah satu kelompok binaan Wilmar adalah Koperasi Tinera Jaya.
Suryono, Ketua Koperasi Tinera Jaya menceritakan awal mula kemitraan koperasi yang dia pimpin dengan Wilmar. Inisiatif untuk mendorong perkebunan kelapa sawit berkelanjutan pertama kali dikenalkan oleh lembaga swadaya masyarakat pada medio 2016. Namun, karena beberapa hambatan yang dialami, pengajuan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), tidak berhasil. Barulah kemudian pada tahun 2018 PT Persi (Permodalan Siak) bersama Wilmar membantu Koperasi Tinera Jaya mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Suryono menjelaskan, Wilmar banyak berkontribusi terhadap Koperasi Tinera Jaya yang memiliki anggota sebanyak 225 orang dengan lahan pengelolaan seluas 611,4 hektare. Dalam kolaborasi bersama Wilmar, mereka memperbanyak edukasi pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan.
Sertifikat ISPO yang didapatkan oleh Koperasi Tinera Jaya ini, memberikan dampak kesejahteraan bagi petani swadaya yang bernaung di dalamnya. Salah satu dampak yang dia banggakan adalah, kini telah banyak petani swadaya yang mampu melanjutkan pendidikan anaknya hingga ke jenjang perkuliahan karena peningkatan perekonomian para petani.
“Petani itu (dulunya) susah, kini ekonominya sudah meningkat dan banyak anak-anak dari petani itu yang sudah kuliah,” ujarnya bangga kepada TangkasiID.
Pujuh, dari Wilmar menjelaskan, masih banyak petani yang belum memahami konsep keberlanjutan. Masalah lain yang ditemui, juga terkait dengan konflik legalitas lahan petani swadaya. Pujuh kerap menemui perkebunan rakyat yang tumpang tindih dengan lahan korporasi atau berada dalam kawasan hutan. Dia mencontohkan kasus yang dialami KUD Panca Jaya di Rokan Hilir.
Lokasi petani swadaya di Rokan Hilir tersebut, merupakan lahan eks transmigrasi dan telah memiliki sertifikat sejak 1978. Namun, secara tiba-tiba lahan masyarakat tersebut dinyatakan berada dalam kawasan hutan. Wilmar kemudian aktif mendampingi masyarakat untuk menyelesaikan masalah lahan yang dialami.
Menurutnya, edukasi pertama yang diberikan kepada masyarakat, adalah perhatian atas masalah yang mereka alami. Hal ini menimbulkan sikap saling menghargai dan memahami. Sikap ini mendorong petani swadaya binaan Wilmar, berperan aktif mendukung program keberlanjutan lingkungan Wilmar.
“Nah (dari proses dampingan), sehingga dia bisa memverifikasi. Saya nggak terima (yang belum bersertifikat ISPO). Saya nggak mau jual ke Wilmar, karena garisnya begitu. Dan itu pasti nggak akan bisa masuk ke pasokan Wilmar. Karena tools-nya itu sudah ada. Dan itu betul-betul pengurus (koperasi) yang bisa mengecek langsung,” ujar Pujuh.
Bagi Pujuh, pengelolaan perkebunan rakyat yang baik, juga memberikan dampak yang baik bagi Wilmar dari sisi bisnis. Sehingga dia berharap, akan lebih banyak petani swadaya yang menerapkan prinsip NDPE.
Keberlanjutan Lingkungan, Sekadar Kepentingan Bisnis?
Pujuh tidak memungkiri, bahwa perubahan sikap perusahaan memandang masalah lingkungan hidup, dipengaruhi oleh bisnis. Apalagi Wilmar merupakan perusahaan publik, sehingga ketika ada dorongan untuk mereformasi diri, maka Wilmar akan melakukannya.
Lebih lanjut lagi, kondisi pasar yang mendesak perusahaan untuk memperhatikan keberlanjutan lingkungan dalam proses produksinya, juga menjadi pertimbangan perusahaan. Menurutnya, tanpa tekanan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan pun, korporasi pasti akan peduli terhadap kelestarian alam.
“Sebelum diserang NGO, kalau dia (korporasi) diserang oleh buyer-nya, itu dia akan berubah dulu, karena for business,” ujarnya.
Wilmar juga menjadi anggota dari Dow Jones Sustainability Index (DJSI), panduan bagi investor untuk memberikan investasi kepada perusahaan yang memiliki komitmen lingkungan hidup. Pujuh menegaskan, bahwa Wilmar telah berusaha keras untuk mempertahankan posisinya sebagai anggota DJSI.
Kuatnya motif bisnis perusahaan dalam konteks lingkungan hidup, menurutnya wajar belaka. Baginya yang paling penting saat ini adalah, mendorong praktik-praktik keberlanjutan dapat dilakukan semua pihak. Pujuh mengklaim, 3 tahun lalu Wilmar pernah bersikap keras kepada rekanan bisnisnya yang tidak menerapkan prinsip NDPE dengan menolak pasokan sawit sebesar 1.5 juta ton.
Tapi sayangnya, pasokan kelapa sawit yang ditolak Wilmar, diterima oleh perusahaan pengolah kelapa sawit lainnya. Menurut Pujuh, Wilmar dan LSM dapat berkolaborasi untuk memastikan rekanan bisnis Wilmar menerapkan konsep NDPE. Sehingga perkebunan rakyat yang telah menerapkan konsep keberlanjutan, tetap dalam ekosistem bisnis yang mempertahankan kelestarian alam.
“Meskipun kita suspend (pasokan kelapa sawit) 1.5 juta ton, ini masuk ke tempat (korporasi) yang lain. Yang company-company yang gak biasa (dengan konsep ramah lingkungan), yang nggak sadar, dan terima (pasokan yang ditolak Wilmar),” ujar Pujuh prihatin.
Bagi Pujuh, ketimbang berkutat dengan tudingan greenwashing, dia berharap LSM lingkungan mau berkolaborasi dengan perusahaan yang memiliki komitmen keberlanjutan. Dia menegaskan, program kolaborasi yang dibangun harus dipastikan memiliki dampak kepada masyarakat dan lingkungan hidup.
Pujuh berharap, LSM lingkungan yang memiliki pengalaman pendampingan masyarakat, bersedia berkolaborasi. Dengan dukungan LSM lingkungan yang ada di Riau, Pujuh yakin rantai produksi yang selama ini bermasalah dan tidak terawasi, dapat diperbaiki dengan dukungan seluruh pihak. Namun, dia menegaskan upaya ini tidak bisa singkat, butuh konsistensi komitmen.
“Project Wilmar dalam memberikan access to market itu long term. Jadi memang kalau long term itu tidak bisa short time. Hasilnya tidak bisa dilihat saat ini, tapi hubungan kemitraan dan sinergi itu dimulai dari sekarang. Itu mungkin kita petik 5 tahun lagi,” ujarnya.
Pujuh juga menilai keberadaan KPSSH memiliki manfaat sangat besar, terutama sebagai jembatan komunikasi korporasi dengan LSM.
Komitmen korporasi dalam penyelamatan lingkungan hidup, tentu saja masih perlu diuji. Namun memberikan kesempatan kepada seluruh pihak, terkhusus perusahaan-perusahaan perkebunan dan tanaman industri, juga layak dicoba. Pujuh Kurniawan paham betul, kritik merupakan input yang bagus bagi perusahaan untuk terus menyempurnakan diri.
Namun dia berharap ada komunikasi yang bisa terjalin, tanpa saling mencurigai. Baginya, upaya perbaikan lingkungan hidup bukan hanya untuk keuntungan korporasi saja. Ujung utama dari seluruh upaya ini adalah untuk kemajuan Indonesia. (*)
Sumber: https://tangkasi.id/menilik-dukungan-korporasi-untuk-siak-hijau-green-action-atau-greenwashing/