Pengembangan Proyek Karbon Hutan/Lahan Tidak Semudah Yang Dibayangkan

Ketika kita bersemangat untuk mengembangkan proyek karbon, dan sudah punya calon lokasi proyek – yang menurut kita sangat cocok sebagai ladang karbon. Tiba-tiba saja semangat tersebut bagaikan terkubur dengan kepanikan mendapatkan kabar dari konsultan pengembang proyek karbon, bahwa kita perlu melakukan pra-kelayakan (pre-feasibility) termasuk kajian pelingkupan proyek (project scoping). Bukankah bisa langsung melakukan kelayakan (feasibillity) proyek karbon? Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Dokumen Rancangan Proyek (Project Design Document atau PDD)? Lalu, kita dapat berjualan karbon?

Sayangnya tidak semudah itu. Kajian pra-kelayakan akan menentukan karakter proyek karbon yang dianggap cocok dengan kondisi lokasi, sekaligus menentukan metodologi proyek yang sesuai untuk dikembangkan, termasuk identifikasi plot-plot contoh biomasa yang perlu diukur selama kajian kelayakan proyek. Apabila ditambah dengan analisis sosial, maka potensi ancaman terhadap proyek mendatang akan teridentifikasi, sehingga dalam studi kelayakan proyek, kajian sosial akan lebih terarah. Lebih fokus lagi, kajian pra-kelayakan dapat menentukan layak atau tidaknya proyek karbon diteruskan pengembangannya.

Celakanya, kita seringkali ingin segera “berjualan” karbon, dan karbon yang terverifikasi pula. Padahal secara global, proyek-proyek REDD yang sudah melewati tahap pra-kelayakan dan studi kelayakan pun masih memberikan gambaran buruk. Beritanya, dari sekitar 30 proyek potensial yang diajukan dalam beberapa bulan terakhir, kurang dari 6 proyek yang lolos kriteria minimum sebuah proyek karbon. Secara gamblangnya, “proyek tidak akan menghasilkan cukup karbon terverifikasi yang dapat menutupi biaya”. Tony Wood – seorang spesialis pengembangan proyek karbon (alamat di LinkedIN) mengatakan bahwa, “berapapun Anda ingin menghasilkan kredit karbon dari daerah tropis, biaya proyeknya akan sangat mahal!

Hingga saat ini, ketika kita berbicara tentang “perdagangan karbon”, banyak orang masih bingung karena bisnis ini seperti berdagang “barang gaib”. Atau, mereka yang pernah mendengarnya, seringkali menyangka bahwa dengan menjaga hutan, kita dapat langsung mendapat kompensasinya melalui perdagangan karbon. Sayangnya, banyak sekali pertanyaan dalam persiapannya. Misalnya, pertanyaan soal “additionality” dari proyek karbon yang dikembangkan, dan “apa yang akan dilakukan proyek karbon secara berbeda untuk menghasilkan kredit karbon?” Kenyataan bahwa mekanisme proyek karbon dan cara karbon dihasilkan belum dipahami oleh semua orang adalah sebuah kenyataan yang mengerikan.

Di sisi lain, pembatasan area kawasan hutan alam dengan PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) sesungguhnya menjadi masalah dalam proyek karbon. Satu izin hanya diberikan untuk pemanfaatan hutan seluas 50.000 ha, padahal untuk menghasilkan karbon yang cukup untuk menutupi biaya proyek perlu kawasan hutan seluas 80.000 ha. Rumit kan?

Sekarang kita lihat dari sisi karbon-nya. Pertanyaan sederhana, “berapa jumlah karbon yang cukup untuk berbisnis dalam proyek ini?” Menurut Tony Wood, secara kasar Anda akan membutuhkan produksi karbon sekitar 300.000 ton per tahun untuk dijual dengan patokan DMO[1], dipotong komitmen untuk pemberdayaan komunitas. Proyek yang menghasilkan lebih dari 1 juta ton karbon per tahun akan memberikan hasil bisnis yang masuk akal. Proyek yang menghasilkan karbon antara 500.000–1 juta ton per tahun akan “lenyap” begitu saja, atau “tanggung renteng kerugian” jika proyek dimiliki oleh beberapa pihak, atau pemilik saham. Jika proyek hanya menghasilkan karbon di bawah 500.000 ton per tahun, sebaiknya berpikir ulang, atau pelajari lagi “baseline” dengan cermat sebelum menghabiskan modal terlalu banyak.

Secara umum, berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan.

  1. Pelajari dengan seksama “baseline” yang dilakukan. Pastikan adanya “additionality” dari proyek yang dikembangkan.
  2. Pastikan bahwa metodologi yang digunakan adalah benar. Pastikan pula, bahwa konsultan Anda memahami alometrik perhitungan karbon.
  3. Bersiaplah mengeluarkan uang cukup banyak untuk PDD yang profesional. Makin kuat PDD, makin mudah menjual kredit dengan harga premium di kemudian hari.
  4. Perhatikan baik-baik berapa biaya total pelaksanaan proyek. Buat anggaran yang realistis. Pengeluaran yang kurang di tahun-tahun awal justru dapat membahayakan bisnis itu sendiri.
  5. Pahami benar situasi sosial di dalam dan di sekitar area proyek, karena Anda harus bekerja dengan orang-orang ini untuk keberlanjutan proyek.
  6. Perizinan dari pemerintah – terutama yang berkaitan dengan bisnis karbon – sangat penting dipahami.

Memang harus diakui bahwa proyek REDD makin langka, tetapi peluang ARR yang dikombinasikan dengan energi terbarukan dan/atau proyek pertanian akan menjadi “isu besar” di masa datang.

[1] Default Market Offer (DMO) adalah batasan harga yang harus dipatuhi oleh pengecer, yang disesuaikan setiap tahun, untuk memastikan tetap sejalan dengan perubahan di pasar karbon.

Blog
Staf EcoNusantara mengikuti dan berbagi dinamika dalam pembangunan berkelanjutan dan isu-isu tanggung jawab lingkungan dan sosial. Pendapat dan pandangan yang disajikan di sini belum tentu mewakili pandangan EcoNusantara.​
Blog Terkini

Berita Terkini