Belum lama ini kita beranjak dari pandemi global COVID-19, di mana hampir seluruh dunia lumpuh karena paparan virus ini. Menurut beberapa pakar epidemiologi, bahwa virus ini disebabkan oleh penyakit pada hewan yang menular ke manusia (zoonosis). Hingga saat ini, belum diketahui penyebab penularan virus COVID-19 dari hewan ke manusia. Dugaan sementara, karena maraknya kuliner extreem berbahan dasar daging kelelawar. Namum, dugaan ini masih sangat dini untuk disimpulkan sebagai penyebab penularan.
Menelisik pada konsepsi teori habitat satwa dan potensial zoonosis, bahwa fragmentasi habitat dan degradasi lingkungan memicu meningkatkan risiko zoonosis. Sehingga, memelihara kualitas keanekaragaman hayati yang tinggi dan pelestarian habitat satwa dapat membantu dalam pengendalian vector penyakit dan patogen. Kualitas lingkungan yang baik tidak hanya berkaitan dengan timbulnya pandemi semata, namun menghindarkan terjadinya bencana alam banjir, kekeringan ekstrim, pencemaran udara dan kabut asap, perubahan iklim, pencemaran laut, dan lain-lain. Berbagai bencana alam ini dapat dicegah melalui proteksi habitat, mencegah terjadinya deforestasi dan menjaga ekosistem laut.
Instrumen hukum dalam menjaga kualitas lingkungan dan pencegahan bencana alam dan bencana biologis (zoonosis) menggunakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, yang saat ini sedang dalam proses amandemen. Secara sektoral Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi landasan pengelolaan sektor Kehutanan. Kemudian Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang sebagai panduan untuk merencanakan pemanfaatan ruang atau wilayah, yang tentunya tetap memegang prinsip kelestarian ekologi, kemandirian sosial dan pertumbuhan ekonomi bagi secara lokal (kabupaten), provinsi, hingga nasional.
Secara praktis, perencanaan penataan wilayah menjadi krusial guna terjaganya prinsip-prinsip tersebut. Instrumen hukum tidak atau belum menjangkau hal-hal yang lebih teknis dan operasional. Jembatannya menggunakan pendekatan akademik yang secara pijakan regulasi sangat kokoh (mengacu pada instrumen hukum formal di Indonesia) dan pijakan akademik yang komprehensif. Penilaian Nilai Konservasi Tinggi secara lanskap, baik Lanskap Daerah Aliran Sungai (Watershed Landscape), Lanskap Administrasi (Jurisdictional Landscape), maupun Lanskap Budaya (Cultural Landscape) menjadi instrumen akademik yang mampu menjembatani konsep pengelolaan lingkungan hidup yang lestari yang diamanatkan undang-undang dengan kondisi aktual pengelolaan ruang kehidupan secara aktual. Hasilnya berupa wilayah atau ruang-ruang yang secara aktual memiliki nilai konservasi ekologi tinggi, nilai konservasi jasa lingkungan untuk kehidupan manusia, dan nilai konservasi budaya, atau yang dikenal dengan Areal Nilai Konservasi Tinggi (ANKT). Proses yang dilakukan untuk mendapatkan areal ini, tentu tidak hanya mengeksplorasi teori dan relasinya dengan kondisi aktual semata. Namun melalui proses penilaian langsung di lapangan (hutan, gunung, sungai), diskusi mendalam dengan masyarakat, dan konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Secara keruangan, wilayah-wilayah yang memiliki nilai konservasi ini harus menjadi pedoman dalam perencanaan pembangunan oleh pemerintah, baik kabupaten maupun provinsi. Sehingga dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten atau Provinsi, Areal Nilai Konservasi Tinggi ini sebagai input utama. Hal ini untuk mendapatkan legitimasi yang kuat pada pengelolaan secara sektoral atau implemantasi RTRW yang didukung seluruh pihak, karena sudah melalui proses konsultasi publik dengan seluruh stakeholders. Analisis Nilai Konservasi Tinggi pada lanskap Kabupaten berperan penting dalam mendukung implementasi pengelolaan wilayah sesuai RTRW Kabupaten. Masyarakat dan private sector berperan penting dalam mendukung pemerintah melaksanakan pengelolaan kewilayahan yang berpedoman pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan peningkatan kesejahteraan.
Di Indonesia, studi mengenai Analisis Nilai Konservasi Tinggi (NKT) skala lanskap sudah banyak dilakukan oleh beberapa organisasi non pemerintah, maupun oleh beberapa private sector. Tujuannya agar perencanaan pembangunan wilayah administrasi dapat dilakukan secara cermat, mengacu pada karakteristik lingkungan itu sendiri. Analisis NKT memegang 6 kriteria; yaitu Areal kategori NKT 1 berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna; Areal kategori NKT 2 berkaitan dengan ekosistem hutan yang luas, yang merupakan habitat satwa dilindungi yang mampu bertahan dalam waktu lama (viable); areal kategori NKT 3 terkait dengan ekosistem terancam dan hampir punah; NKT 4, kaitannya dengan jasa lingkungan bagi masyarakat; dan NKT 5 dan 6 berkaitan dengan sosial ekonomi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan entitas budaya. Seluruh kriteria ini sangat penting dalam menjaga kualitas lingkungan dan keseimbangan sosial, ekonomi pada suatu lanskap. Sehingga hasil kajian NKT, jika diimplementasikan secara legal melalui perundangan khusus, tentang perencanaan pembangunan yang berlandaskan NKT, maupun menjadi input pada penyusunan peraturan yang mengatur perencanaan pembangunan wilayah, maka akan mendukung proses tercapainya keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi.
EcoNusantara (ENS), hingga tahun 2024 ini sudah menyusun separuh lebih analisis Nilai Konservasi Tinggi tingkat lanskap kabupaten di wilayah Sumatera bagian tengah, beberapa kabupaten di Kalimantan sudah selesai dilakukan analisis pada paruh pertama 2023. Beberapa kabupaten di Provinsi Papua sudah selesai analisis sebelum 2020. sementara wilayah sulawesi dan tanah papua bagian barat sedang dalam persiapan untuk analisis. Upaya ini untuk mendukung percepatan pemerintah dalam menyusun perencanaan penataan ruang wilayah yang mengakomodir prinsip-prinsip Nilai Konservasi tinggi. Harapannya mampu mereduksi terulangnya pandemi dan upaya mengurangi dampak perubahan iklim yang saat ini sedang berlangsung. (DT).